Judulnya
ini kayak mau bikin laporan, ya. HAHAHA. Nggak gengs, ini curhat.
Kami
baru saja melihat pengumuman yang seger banget kayak es cendol di siang bolong.
Setelah setahun menjalankan masa PKL, akhirnya kami akan melanjutkan kembali
pendidikan di kampus sampai nanti lulus D4. Nggak kerasa, ya. Kayaknya baru
kemaren aku syok banget gara-gara dapat pemanggilan PKL mendadak, yang bikin
aku melalui perjalanan Kalimantan-Jawa-Sulawesi dalam waktu tiga hari. Dan
sebentar lagi bakalan say goodbye sama
zona nyaman.
Tapi
kalau dipikir-pikir, tempat penempatanku (a.k.a Bitung) adalah jawaban dari
doa-doaku. Dengan adanya kontrak “bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh
wilayah NKRI”, aku emang udah siap-siap dengan kemungkinan terburuk. Aku nggak
punya request tempat yang spesifik. Aku bersedia ditempatkan di mana saja, ASAL
WIFI-NYA LANCAR! Dan, yeah, aku puas banget ditempatkan di Bitung! :)
Kalau
untuk tujuan formal, PKL ini adalah ajang untuk mempraktikan materi yang sudah
aku dapatkan di kampus. Tapi cuman materi pengamatan aja. Fisika dan Matematika,
yang dalam kurikulum yang aku jalani bakalan muncul terus selama enam semester,
nggak kepake sama sekali, kecuali buat ngajarin anak tetangga dalam persiapan tes
SBMPTN. Heol. Namun selain dalam hal
akademis, sebenarnya ada hal penting lain yang aku dapatkan selama di sini.
Life Lesson.
Lesson 1: Kerja Itu Gini, Ya!
Jangan
kira PKL yang aku jalani itu cuman kerja-kerjaan aja. PKL yang aku jalani ini
bener-bener kayak kerja selayaknya ortu yang cari nafkah buat anak-anaknya.
Jadi aku akhirnya bisa merasakan beginilah capeknya cari duit atau apa saja
permasalahan yang didapat ketika kerja. Ternyata masalah-masalah yang pernah
didapat di kampus itu nggak ada apa-apanya dibanding di dunia kerja. Padahal
aku masih belum punya tanggungan, lho. Gimana kalo punya.
Lesson 2: Open Your
Mind. Wider.
Ini
adalah pertama kalinya aku berada di Pulau Sulawesi. Selama ini aku hanya
mendapatkan gambaran tentang pulau ini dari teman-temanku yang berasal di
Sulawesi. Sekarang aku dapat merasakannya sendiri. Saking kayanya Indonesia
dengan budaya, aku menemukan banyak banget perbedaan antara masyarakat Kota
Bitung dengan kota-kota lain yang pernah aku singgahi. Jujur, selain karena
Kino, this kind of knowledge also makes
my heart flutters. I’m such a lucky bastard karena punya kesempatan buat
mempelajari budaya lain di Indonesia, dengan gratis pula.
Yap,
meskipun aku dibilang kuper gara-gara nggak sering keluar rumah.
Tapi
inilah sebenarnya tantangan yang aku hadapi. Cobaan buatku untuk bisa lebih
memahami orang lain dengan sudut pandang yang mereka miliki. Aku mungkin
terlalu terbiasa dengan lingkungan yang open-minded ketika aku SMA sampai
kuliah di Ilkom. Aku bertemu dengan orang-orang yang bisa menerima berbagai
macam pemikiran. Orang-orang yang cover
both sides, berwawasan luas, dan memiliki sudut pandang yang unik ketika
melihat suatu peristiwa. Tapi aku jarang banget menemui orang-orang kayak
mereka akhir-akhir ini.
Aku
capek banget ketika ke-introvert-anku dibilang menyimpang. Atau ketika aku
sering banget dapat paksaan buat bersosialisasi lebih sering dari yang biasa
aku lakukan. Atau ketika aku dituntut harus bisa ini-itu (dalam konteks
kebiasaan masyarakat lokal) dalam waktu singkat hanya karena orang-orang
terdahulu lebih bisa “berbaur” daripada aku. Atau ketika orang-orang protes
terhadap mood-swing-ku. Rasanya
pengen bilang, “Kalian tau apa, sih, soal aku?”
Tapi
akhirnya aku berusaha untuk menerima kalau perilaku tadi merupakan bagaimana
mereka mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka. Mereka memiliki sudut
pandang sendiri, yang terbentuk dari pengalaman yang mereka dapatkan. Pengalamanku
dan mereka pastinya berbeda. Dan jika aku menemukan orang dengan perspektif
yang berseberangan, aku harus bersyukur. Kenapa? Karena mereka membuatku
memperkaya perspektifku.
Lesson 3: Aku Nggak Pantas Mengeluh
Ngeluh?
Sering banget sebenarnya. Hahaha. Tapi aku berusaha buat tetap bersyukur dengan
apa yang udah aku dapatkan. Banyak teman lain yang ngiri dengan penempatanku.
Bukan hanya yang PKL, mungkin orang-orang di luar sana juga banyak yang pengen
berada di posisiku. Jadi, nikmat Tuhan yang mana yang kau dustakan?
Di
sini aku terngiang pesan Joshua, “No
matter what job you do, there’s always gonna be hard times. So you just have to
work hard in what you do and you get to enjoy it later on.”
Lesson
4: Review My Life
PKL itu sebenarnya lebih banyak waktu luangnya daripada pas
kuliah. Aku di sini kerja shift dengan pola empat hari dinas dan sehari libur.
Satu hari dinas cuma 6 jam. Jadi, dalam lima hari, aku hanya kerja 24 jam.
Selebihnya... well. Bengong, hahaha.
Tapi
kadang waktu tersebut aku isi dengan mikirin soal apa yang sudah aku lakukan
selama ini. Apakah selama ini aku sudah melakukan hal yang berguna atau
buang-buang waktu saja. Lalu aku juga memikirkan lagi soal siapa aja yang
kira-kira pernah tersakiti dengan perilakuku, apakah aku bakalan sempat buat
minta maaf pada mereka. Aku juga memikirkan apa aja yang membentukku menjadi
seperti sekarang ini. Kadang juga kesel ketika memikirkan betapa childish-nya kelakuanku di masa lalu.
Yah, pokoknya banyak banget yang aku review. Nggak bisa diungkapkan semuanya di
sini, hehe.
Lesson 5: Marriage Thought
Udah
mikirin nikah? Hahaha. Yes. Gara-gara lingkungan juga. Bayangin aja,
sehari-hari sering banget keluar kata-kata gini:
“Ntar
kalo cari suami...”
“Kalau
nanti suami kamu gini...”
“Milih
suami itu yang gini gini gini...”
Dan
biasanya aku cuman bisa bilang, “Hehehe, gitu ya. Hehehe iya” dan tanggapan canggung
lainnya. Wajar, sih, sering ngomongin nikah. Selain karena udah di usia wajar,
nikah ini juga menentukan relokasi. WAHAHAHA /ditimpuk sendal/
Tapi
sebenarnya semakin mikirin nikah, aku semakin ngerasa apa banget. Is that a life goal? Apakah setiap orang
yang hidup harus melewati tahap ini? Padahal yang dicari dari nikah itu apa,
sih? Itu tergantung dari pribadi masing-masing, sih, ya. Namun jika katanya itu
bikin bahagia, kayaknya aku fangirling-an juga bahagia, deh. Kenapa aku nggak
nikah sama si oppa aja wkwk. Kidding.
Aku
nggak pengen ngomongin nikah dari sisi agama, soalnya ilmuku masih cetek
banget. Biarlah nanti ada yang mendakwahi aku soal ini. Aku, sih, ngerasa kalau
sebenarnya nggak nikah juga nggak apa. Percuma aja nikah kalau nanti malah
tambah gloomy. Banyak yang pengen nikah karena ngebayangin
enaknya. Padahal nggak enaknya juga banyak, deh. Salah satunya soal keuangan.
Kalau udah berkeluarga, ya, harus pinter ngatur keuangan, lah, kalau nggak mau
melarat. Nggak bisa gitu kalau aku tiba-tiba random pengen me time trus
nongkrong aja minum americano di Starbuck. Atau jangan-jangan nanti aku nggak
bisa lagi beli album Seventeen karena uangnya dipakai buat kebutuhan hidup. Itu
baru keuangan. Belum nanti urusan rumah tangga atau komunikasi dengan keluarga besar.
Yah, gitu lah. Trus gimana kalau ternyata dapat suami yang kolot, yang merasa
paling dominan dan nggak ngebolehin aku buat ini-itu. Duh.
“Kamu
cuman mikirin nggak enaknya, sih.”
Oke.
Tapi bagaimanapun menikah itu suatu keputusan yang milihnya itu nggak segampang
milih menu restoran. Ada komitmen yang dibangun. Hubungan itu pun melibatkan
banyak pihak. Melibatkan diri juga secara pribadi. Rela, nggak, kamu hidup
sampai tua dengan orang yang sama? Rela, nggak, kamu membagi hal yang biasanya
cuma kamu aja yang tau sama orang itu? Pokoknya sebenarnya aku kagum sama orang
yang sudah menikah. Karena mereka dapat merelakan egonya. Sementara aku
dipenuhi sama ego. Aku masih ingin berbuat ini-itu dan nggak mau membagi
waktuku dengan siapa-siapa.
Tapi
jika nanti tiba-tiba kalian melihat ada undangan nikah yang tersebar atas
namaku dan orang lain entah siapa, well,
he might be one of my ego.
Intinya,
PKL ini bikin aku banyak berkaca pada kehidupan yang sudah aku jalani. Dengan
pengalaman ini, aku berharap aku bisa lebih bijaksana dalam setiap keputusan
yang aku ambil. Aku ingin berubah ke arah yang lebih baik, bergaul dengan
orang-orang yang beraura positif, dan mewujudkan impian yang belum aku capai.
Live to the fullest!
Yang Aku Dapatkan dari PKL
Reviewed by Audi
on
Maret 24, 2017
Rating:

Mantap :D
BalasHapus