Prejudice


Dua hari terakhir ini ada dua perayaan yang bagiku cukup berarti. Kemarin (27 Oktober) adalah Hari Blogger Nasional (yang aku biarkan berlalu begitu saja tanpa merayakannya dengan suatu postingan blog, hehe. My bad.) sedangkan hari ini (28 Oktober) merupakan peringatan Sumpah Pemuda. Kalau kata sejarahnya, sih, Sumpah Pemuda adalah sebuah sumpah mengenai komitmen bersatunya pemuda-pemuda Indonesia dalam bangsa, bahasa, dan tanah air. Keren, ih.

Tapi, yakin, nggak, kalau kita sudah benar-benar bersatu? Di sini aku pengen ngebaperin salah satu sifat alamiah manusia yang menurutku patut banget buat disesali. Sifat ini pulalah yang terkadang bisa memecahbelah suatu pihak. Sifat itu bernama prejudice, prasangka.

Setuju, nggak, sih, kalau manusia emang dasarnya punya prasangka terhadap manusia lain? Misalkan kita lihat orang dandanannya serem, tatoan, pakai tindik, rambut gondrong, dan muka cemberut. Mungkin kita akan langsung ngira kalau doi itu preman, tukang palak, atau segala macam hal-hal jelek lainnya. Padahal, kan, doi belum tentu apa yang kita duga itu. Bisa jadi doi ternyata pemilik restoran ternama, misalnya.

Prejudice ini muncul akibat banyak faktor. Kenapa, sih, kita bisa menyimpulkan kalau orang dengan dandanan yang aku sebutin di atas itu preman? Bisa jadi karena ada orang yang pernah dipalak oleh orang yang dandanannya gitu sehingga kita jadi menyamakan semua orang dengan imej yang sama. Bisa jadi karena keseringan nonton film, gara-gara film menggambarkan preman kayak gitu. Bisa jadi karena omongan orang di sekitarnya yang bilang kalau dia preman. Jadinya kita yang terpengaruh.

Trus, karena ini emang sifatnya manusia, kenapa, sih, aku bilang kalau sifat ini patut disesali? Menurutku, yaaa.

Yah, menurutku memiliki sifat ini terkadang bikin aku ngerasa bersalah sama orang lain. Oke, ini masih ringan. Kalau yang berat, sih, kalau sampai prejudice terhadap seseorang itu bikin kita nggak suka orang lain trus kita ngehasut orang lain buat nggak suka dia juga sampai dia jadi orang ter-bully dan tersiksa sampai meninggal akibat bully-an tersebut. Inget, nggak, sih, cerita Rasulullah saw yang berusaha menyebarkan Islam di Mekkah tapi dia ditolak mentah-mentah dan malah dilemparin batu? Menurutku itu juga akibat dari prejudice. Padahal, mah, aslinya Rasulullah saw itu baik dan ingin menyampaikan hal yang baik, ya nggak?

Well, ada seseorang yang bikin aku terinspirasi buat bikin tulisan tentang hal ini. Orang itu adalah korban prejudice-ku. Tapi untung dia nggak kenapa-kenapa, hehe. Dan prejudice itu bikin aku nyesel banget.

Orang itu sebut saja X. Aku aslinya bukan orang yang dekat dengan X. Tapi aku dapat banyak banget cerita soal X dari teman-temanku. Dia orangnya gini lah, gitu lah. Intinya jelek aja. Dan karena imejnya si X itu udah dibentuk oleh teman-temanku, aku juga ikut-ikutan sebel sama dia. Jadi pas dia melakukan hal ini atau itu, I was like, "Ih, ni anak ngapain, sih?"

Kemudian, suatu kebetulan memaksa kami berada dalam sebuah kelompok. Anggap aja KKN bareng. Karena berada dalam satu kelompok, aku berusaha ngebisa-bisain buat bergaul sama si X. Tapi sayangnya awal dari pengembaraan kelompok itu diawali dengan sebuah konflik kecil, yang sempat bikin aku tambah sebel sama orang ini.

Suatu hari, mood-ku jelek banget. Pokoknya aku nggak pengen ketemu siapa-siapa. Pengennya mojok di kamar sambil nangis. Dan itulah yang kemudian aku lakukan. Nangis di pojokan kamar. Kebetulan kamarnya si X sebelahan dengan kamarku. Kirain dia masih tidur. Tiba-tiba dia datang ke kamarku. Nanya, "Kamu nangis?"

Gotcha.

Dan aku nggak nyangka, dari rasa keponya terhadap tangisan orang sebelah kamarnya, aku jadi kenal dia lebih dalam. We both are introvert (but nowadays I'm quite ambivert). Kami sama-sama nggak suka small talks. Kami sama-sama awkward kalau harus gabung di lingkungan sosial yang baru. Yang bikin aku agak wow, kami punya interest yang sama!  We know specific things when people only know it generally. Menurutku, di antara teman-teman kelompok KKN ini, dia adalah orang yang paling nyambung dengan omonganku.

Yang aku kagum lagi dari X, wawasannya luas. Ketika aku ngobrol sama dia, banyak hal baru yang bisa aku dapat dari dia. Dalam hati aku ngerasa bahwa dia adalah salah satu orang yang bisa aku ajakin buat melakukan quality talk. I honestly don't like gossip, tapi terkadang aku harus survive dari society dengan melakukan ini karena jarang ada orang yang ketemu pengen langsung ngomongin hal-hal berat yang jawabannya hanya ada di ujung langit. Halah. Duh, jadi kangen teman-teman SMA-ku.

Dan ternyata X adalah salah satu dari sedikit orang yang sefrekuensi denganku.

Langsung hilang prejudice yang aku miliki terhadap dia. Memang, sih, masih ada sisa-sisa prejudice tersebut yang ternyata memang sifat aslinya. Tapi imejnya sudah nggak sejelek dulu. Dari sini aku sadar kalau penilaian orang lain terhadap seseorang itu nggak selalu benar, meski orang itu teman dekat kita. Kita harus yang benar-benar merasakan bagaimana perlakuan seseorang itu terhadap kita sebelum menilai.

Lha, terus kalau milih presiden gimana, tuh, Aud? Kan, kita nggak bisa menilai langsung karena kitanya nggak pernah ketemu langsung sama dia. Imej kita terhadap mereka, kan, terbentuknya dari media.

Wallahu a'lam kalau itu, mah. :')

Yang pastinya, prejudice yang aku bahas ini masih dalam tahap lingkungan sosial terdekat kita. Dari sini aku jadi setuju sama penggalan lirik dari artis Youtube, "Jangan nilai kami dari kopernyaaah~"

Selamat Hari Sumpah Pemuda! Semoga kita semua tidak terpecah karena banyak prasangka, ya! :)
Prejudice Prejudice Reviewed by Audi on Oktober 28, 2016 Rating: 5

7 komentar:

Thanks for coming! ^^
Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu untuk menghindari komentar spam.

Diberdayakan oleh Blogger.