Waktu
SMP, aku punya teman yang senang mengamati orang. Dia berkata kepada beberapa
orang teman tentang profesi yang cocok untuk mereka di masa depan. Misalnya,
dia bilang si A cocok jadi guru, si B cocok jadi apoteker, si C cocok jadi
penulis, dan lain-lain. Nah, pas aku iseng nanya ke dia kalau aku cocoknya jadi
apa, dia malah mikir bentar. Trus bilang, “Nggak tau, Au. Bingung.”
Lalu aku bingung.
Bingungnya
itu sampai terbawa bertahun-tahun kemudian, tepatnya setelah lulus kuliah.
Waktu SMA sebenarnya aku yakin banget pengen ambil jurusan Ilmu Komunikasi biar
bisa jadi jurnalis. Soalnya pas SMA aku sudah bosan sama hitung-hitungan. Untuk
meyakinkan pilihanku ini, aku dan temanku, Ninda, ikut tes psikotes buat mengetahui
kecocokan kami dengan jurusan yang kami inginkan. Ketika aku mengambil
hasilnya, aku tambah bingung.
Rekomendasi
paling atas: Manajemen.
Rekomendasi
kedua: Statistika.
Rekomendasi
ketiga: Teknik Lingkungan.
Trus
aku tanya ke ibu psikolog, “Bu, aku kalau ambil Bahasa cocok, nggak?”
Ibu
itu bilang, “Nilai bahasamu malah biasa aja, kok...”
JLEB!
Pas
aku cerita ke Rofi, dia langsung bilang,
“Makanya aku nggak mau ambil tes psikotes gitu lagi. Ntar sakit hati!”
Tapi
pada akhirnya aku nekad berada di jalur yang aku yakini merupakan passion-ku
itu. Aku berhasil masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi! Yeay! Eh, pas di Ilkom, aku
malah kangen banget sama pelajaran sains. Trus galau pengen pindah jurusan....
Padahal
sebenarnya jurusan Ilkom itu seru banget. Orang-orangnya rame. Pelajarannya
seru. Dosennya gaul. Acaranya banyak. Kuliah kayak nggak kuliah. Bahkan aku
dapat teman geng di sana, sesuatu yang selama ini susah banget aku dapatkan.
Tapi kayaknya faktor yang mendorong aku buat pindah lebih besar.
Faktornya
banyak. Bisa ditebak sendiri, lah, ya. Tapi kalau aku pikir-pikir lagi,
sebenarnya yang bikin aku pengen banget pindah karena aku merasa nggak stand out di antara yang lain. Aku
ngerasa nggak ada yang bikin aku lebih istimewa dari teman-teman lain. Aku
orangnya biasa aja. Ketika teman-teman lain pinter ngomong, berpikiran kritis,
dan pinter membangun koneksi, aku diem aja. Ya, salahku juga, sih. Haha. Ini
juga sebenarnya akibat dari faktor lack
of motivation juga. Aku lupa (mungkin pura-pura lupa) tujuan awalku
sebenarnya. Jadi ujung-ujungnya aku nggak pengen ngapa-ngapain. Dan inilah
kemudian yang bikin aku ngerasa hampa. Memunculkan pikiran kayaknya-ini-bukan-jurusanku
dan pikiran sejenis itu.
Aku
pun memutuskan untuk pindah kuliah di tahun berikutnya.
And surprisingly accepted.
Sebelum
masuk kedinasan seperti saat ini, aku diterima di Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, yang di antara jurusannya terdapat jurusan incaran, Meteorologi. Tapi
biaya kuliahnya lumayan mahal. Sempat ikut ospek dan masuk kuliah seminggu,
tiba-tiba ada kabar kalau aku keterima di kedinasan. Akhirnya pindah lagi!
Tuh,
kan. Rasa bingung yang aku alami waktu SMP ini berdampak banget sama masa
depanku. Aku memutuskan pilihanku kayak orang bingung. Lulus SMA IPA, sempat masuk
jurusan IPS, trus balik lagi ke IPA. Banyak yang komentar kalau hidupku greget.
Trus nggak jarang yang bilang aku sombong. Yaiyalah, dua universitas negeri
ditinggalin. Ujung-ujungnya jadi kolektor kartu mahasiswa sama jaket almamater.
Motivasi
awalku masuk kedinasan sebenarnya nggak lurus-lurus amat. Pertama, gara-gara
pengen pindah dari jurusan awal. Kedua, biar lulus langsung jadi PNS. Motivasi
tadi akhirnya berdampak lagi pada hasil studiku. Di kelas yang isinya 25 orang
(nggak termasuk tugas belajar TNI AU), aku ranking 13, which is lebih jelek dari 12 orang dan lebih bagus dari 12 orang.
Benar-benar jadi median. And I didn’t
really care. Yang penting lulus udah bisa kerja.
Dan
di sini kemudian aku mulai ngerasa jadi arek
nggak guna untuk kesekian kalinya. Masa, sih, ntar empat tahun kuliah cuman
buat dapet gelar aja? Ilmunya dikemanain?
Untuk
itu, aku memiliki keinginan untuk menumbuhkan rasa cinta pada jurusan kuliahku
ini. Cinta sama gebetan yang nggak pasti jadi jodoh aja bisa, kok. Masa sama
jurusan kuliah yang gelarnya bakal dibawa ke mana-mana ini nggak bisa, sih?
Wkwk.
Pertama,
aku berusaha meluruskan niatku untuk berkuliah. Aku pengen menghilangkan
tagline “yang penting lulus”. Lulus
emang wajib, tapi lulus nggak ada artinya kalau ilmu yang dipelajari nggak ada
yang nempel. Aku udah ngebayangin betapa sia-sianya empat tahun perkuliahanku
seandainya aku nggak bisa memetik banyak ilmu dari kuliah yang aku jalani.
Lalu,
aku membuat daftar tentang apa yang ingin aku lakukan jika dapat
menguasai ilmu tadi (secara penuh). Di luar dari kerjaan, ya. Misalkan dari
jurusan Meteorologi, aku pengen melebarkan sayap ke Oseanografi, nerbitin
jurnal ilmiah, bikin buku, atau bercita-cita buat presentasi di depan profesor
Harvard University. Misalnya yaaa. Buat aku, memiliki wishlist ini bisa membuatku termotivasi untuk lebih banyak belajar.
Setelah
mengumpulkan motivasi, aku mulai kembali mempelajari dasar-dasar ilmu
dari jurusanku ini. Apa pengertian
meteorologi? Apa itu cuaca? Apa bedanya dengan iklim? Apa saja unsur-unsur
cuaca? Dan lain sebagainya. Kalau aku aja nggak tau dasar-dasar ilmu ini,
gimana aku mau menguasai cabang-cabangnya? Tentunya action ini harus aku lakukan setiap hari. Karena ini berhubungan
dengan pendidikan, seharusnya bisa aku jadikan prioritas utama. Minimal
menyempatkan waktu setengah jam sehari buat kembali review.
Selain
mempelajari dasar ilmu, aku juga banyak browsing
artikel yang berhubungan dengan meteorologi agar bisa aku
kaitkan dengan ilmu dasar yang sudah aku pelajari. Pengennya, sih, artikel yang
tampilan atau gaya penulisannya kayak di situs Buzzfeed biar bacaannya agak
ringan dikit lah. Sayangnya, ini baru aku temui di situs berbahasa Inggris. Tapi
kalau ada yang nemu di situs berbahasa Indonesia bisa langsung bilang ke aku
yak.
Dan
aku ingat pepatah bahasa Jawa yang ngehits banget bagi orang-orang yang lagi
kasmaran: witing tresno jalaran soko
kulino. Cinta ada karena terbiasa. Karena itu aku berusaha membiasakan
diri untuk menuliskan cuaca dalam buku harianku. Mengapa buku harian?
Soalnya bisa dibilang buku harian itu representasi dari apa yang ada dalam
pikiranku. Kalau sering dipikirin, kan, berarti udah mendapat tempat di hati.
Cie. To make it fun, aku ngegabungin
tulisan keseharianku dengan unsur cuaca. Misalnya:
Dear XXXX (nama diary-ku), hari ini aku mau jalan sama doi ke Bintaro
Plaza. Katanya mau nonton film Civil Wars. Kami janjian jam 5 sore berangkat
bareng naik angkot.Sedari pagi, jumlah awan yang memenuhi langit sekitar 3-4
okta, paling banyak, sih, 5 okta pas jam 3 sore. Tapi mulai dari jam setengah 4
sore, tiba-tiba ada awan cumulunimbus datang dari arah Selatan. Kecepatan angin
juga mencapai 25 knot sehingga hampir mustahil buat keluar rumah tanpa
kebasahan. Aku khawatir batal ngedate sama doi. Aku berdoa biar cuaca buruknya
nggak lama. Ternyata, dekat-dekat jam 5 sore hujannya sudah reda biarpun
awannya overcast. Pas aku tanya doi, eh, teleponku nggak diangkat. Chat nggak dibalas.
Jam 9 malam baru ada respon. Ternyata doi ketiduran. Nggak jadi nonton deh L
Sampai
saat aku mengetik tulisan ini, aku masih dalam tahap mempraktikan kegiatan ini.
Hasilnya semoga akan terlihat beberapa hari ke depan.
Dan
bagi kalian yang lagi galau dengan jurusan kuliah yang kalian ambil, semangat
yaaaa! WKWK. Pokoknya jangan kelamaan galaunya. Belajar buat cinta jurusan atau
pindah sekalian. The choice is yours...
Belajar Mencintai Jurusan Kuliah
Reviewed by Audi
on
Februari 02, 2017
Rating:

ahahaha boleh juga tuh isi diarynya
BalasHapusboleh dicoba bikin gitu juga hehe
Hapuskadang kita suak denagn jurusan kuliah kita krn pilihan kita sendiri tapi saat kerja kadang dapat yg gak sesuai tapi malah kita jadi ahli di pekerjaan kita walau gak sesuai jurusan kita
BalasHapustinggal menyesuaikan aja kalo gitu ya mbak hehe
HapusAnd i realized that i am one of them. Yang GALAU jurusan wkwkwk
BalasHapusastagaaa yg jurnalnya udah diprosiding aja masih galau....
Hapussebelum kecewa,,, sebaiknya cari tahu dulu seluk beluk nya...
BalasHapussekarang ada pakarnya ko... tunjuk mbah google
tapi kadang yg dijelasin di google beda sama yg dialami sendiri wkwk
Hapushahah ini kisahnya hampir sama kayak gw, tapi gw ada di jurusan politik hahah
BalasHapussalam,
LuckyArd Blog
Wah ... luar biasa.... tulisannya mengingatkan saya ... dengan kisah studi saya.... dan akhirnya.. saya memutuskan kuliah S1 lagi.. dengan pilihan saya setelah S1 yang telah dulu saya selesaikan.... semoga ga terjadi lagi untuk generasi di bawah kita... dan semoga setiap anak Indonesia bisa mantab menentukan pilihan karena memang tahu bakat dan tahu dirinya....... thanks ya Mbak
BalasHapus