Me & Emotional Eating


Aku mau curhat. 

Kan, di awal tahun ini aku udah punya resolusi pengen punya badan kaya Cheng Xiao. Intinya aku pengen diet, lah. Aku pengen menghilangkan beberapa kilogram dari tubuhku ini for my own satisfaction. Nah, apakah diet ini terlaksana?

Jawabannya..... tidak! :(

Aku justru kena efek yoyo. :(

Efek yoyo ini bisa diartikan sebagai jungkat-jungkit berat badan. Misalnya, aku udah berusaha diet nurunin beberapa kilo trus ternyata beratku naik lagi seperti semula. Bahkan bisa lebih berat lagi. Inilah yang terjadi padaku. Padahal perasaan kemaren aku udah berusaha banget atur pola makan. Aku cuman makan nasi dikit banget dalam sehari. Jarang makan mie dan junkfood, Nggak lupa diselingi sama workout juga. Trus hanya karena cheating sekali trus ketagihan dan akhirnya cheating tiap hari trus balik lagi, deh, beratnya. 

Salahku juga, sih. 

Pengen nyalahin tubuhku yang endomorph ini. Kok mudah amat, sih, nambah beratnya. Sementara teman-teman lain ada yang kurus dan pengen gemuk tapi susah gemuk. Well, setidaknya mereka lebih beruntung, sih. Soalnya yang sering jadi bahan bully dan bercandaan adalah orang bertubuh gemuk. :)

Tapi kalo nyalahin tubuh, ya, artinya tidak bersyukur sama pemberian Allah. Maafin Audi, Ya Allah. :(

Akhirnya aku berusaha mengidentifikasi sendiri apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku menyadari kalo akhir-akhir ini aku emang punya kebiasaan makan yang jelek. Aku suka ngidam sesuatu secara berlebihan sampai-sampai kalo hal itu nggak kesampaian aku jadi kepikiran banget. Contoh kayak waktu aku mau makan cireng kemaren. Kemudian, aku juga mudah banget ngasih excuse buat diriku sendiri terhadap suatu peristiwa. Misalnya hari ini aku presentasi waktu kuliah dan presentasinya lancar, aku menghadiahi diri sendiri dengan makanan. Trus kalo misalnya hari ini kuliahnya ngebosenin dan bikin bete, aku menghibur diriku dengan makanan. Bahkan, ketika aku nggak kenapa-kenapa pun aku tetap aja makan. Setiap aku bangun tidur, yang ada dalam pikiranku adalah "Makan apa aku hari ini?". Yap, food is my best friend! Aku nggak perlu merasa lapar buat makan. Pokoknya aku makan! 

Dengan bantuan Google, aku pun menemukan suatu istilah yang sesuai banget sama yang aku alami itu. Hal tersebut ternyata dinamakan emotional eating

Apa itu emotional eating?

Emotional eating adalah respon yang tidak biasa terhadap tekanan atau stress, itu kalo menurut Koenders dan van Striens. Kalo dari artikel internet yang aku baca, tepatnya di helpguide.org, emotional eating itu artinya kegiatan makan untuk memuaskan diri. Yang dipuaskan itu bukan lapar secara fisik, tapi keadaan hati. Untuk jenis makanan yang diidamkan pun kebayakan yang high calories, high sugar, dan yang nutrisinya hampir nggak ada. Yap, kayaknya ini merupakan akar permasalahan kenapa aku nggak kurus-kurus!

Kalo di-flashback lagi, aku rasa ini semua bermula dari SMP. Waktu itu aku masuk ke pondok pesantren yang akses ke mana-mana itu limited banget. Nggak boleh pake hp, nggak ada tv, hidup di asrama dengan satu kamar 25 orang (you almost had no privacy there), dan yang pastinya nggak bebas buat makan enak. Makanan di asrama itu ya itu-itu aja. Makanan di kantin pun sama. Jadi akhirnya ketika aku lulus SMP dan lanjut SMA di Bandung, aku melampiaskan segala-galanya di sana. Apalagi di Bandung, yang kamu nyasar ke mana aja tetap nemu makanan enak. Karena itulah akhirnya aku menganggap bahwa makanan adalah bagian terpenting dalam hidup. Aku juga termotivasi dengan perkataan seorang teman, "Makanlah apa aja sebelum dibatasi."

Aku baru nyadar bahwa kebiasaanku ini salah ketika orang-orang mulai manggil aku "gendut" atau membercandai fisikku. It hurts, yes. Aku jadi merasa kalo kehadiranku ini seperti pemuas bagi orang-orang yang merasa dirinya kurus agar merasa lebih unggul. Standar kecantikan juga tertuju pada orang-orang kurus. Selama orang masih bilang aku gendut, I feel like being the most ugliest human being alive. Ya, orang yang nggak pernah gendut mungkin nggak bisa relate. Tapi inilah society.

Mungkin bagi beberapa orang, ejekan itu bisa dijadikan motivasi. Cuman, kan, nggak semua yang nerima itu termotivasi. Ada yang langsung down. Di beberapa kasus bahkan ada yang sampai bunuh diri gara-gara body shaming. Sampai ada penelitian yang dilakukan oleh Sutin et al. kalo body shaming ini punya efek terhadap kesehatan, baik secara fisik, emosi, maupun mental.

Kalopun niatnya buat memotivasi temennya biar kurus, ya, kenapa nggak dengan kegiatan positif aja, sih? Ajakin aja buat ubah lifestyle kek, ingetin buat banyak makan sayur dan menjauhi makan junkfood kek, ajak olahraga kek, atau sekalian aja kasih makanan sehat ke dia. Kan lebih bermanfaat dan lebih adem, ya, ketimbang ngejek.

Oke, balik lagi ke emotional eating. Hikmah dari ejekan tadi cuman nyadarin aja, sih, kalo ada sesuatu yang salah dari cara makanku. Ya tadi, karena aku lebih banyak makan bukan karena lapar, melainkan karena emosi. Kalo penyebabnya lebih dikarenakan stress.

Trus bagaimana cara menguranginya?

Yang aku baca dari jurnalnya Koenders dan van Striens, mengendalikan makan ternyata nggak ada hubungannya dengan penurunan berat badan bagi yang mengalami emotional eating. Efek dari olahraga pun cuman sedikit. Jadi, ini tuh harus diatasi dengan psychological treatment.

Sebelum nyampe ke treatment, ada beberapa artikel yang memberi saran gimana caranya buat mengurangi emotional eating ini. Kalo yang dari Harvard Health, tipsnya ada tiga: meditasi, olahraga, dan dukungan dari orang-orang di sekitar. Tips yang lebih spesifik juga ada. Nanti link-nya aku kasih di bawah.

Ada hikmah lain yang aku dapat ketika aku mengetahui adanya emotional eating ini. Aku jadi lebih menghargai datangnya bulan Ramadan. Oke, aku kesannya kayak menyambut bulan Ramadan dengan motivasi yang duniawi banget. Tapi dari sini aku bisa relate sama pernyataan kalo berpuasa itu menyehatkan. Ketika aku lagi merasakan emosi tertentu dan ingin makan, aku langsung diingatkan kalo aku lagi berpuasa. Jadi aku nggak punya alasan buat makan. Lagipula, puasa ini dilakukan selama kurang lebih 29-30 hari lamanya. Dalam artikel James Clear di huffingtonpost.com, yang juga mengambil dari berbagai penelitian, suatu kebiasaan terbentuk dalam waktu lebih dari dua bulan atau lebih tepatnya rata-rata 66 hari. Bulan puasa ini bisa jadi sarana buat melatih kebiasaaan baru. Akan lebih baik jika bisa dilanjutkan pada bulan berikutnya.

Jadi, ya, beginilah ceritaku tentang emotional eating. Apakah kamu juga pernah mengalaminya? Sok atuh cerita di kolom komentar, ya~! ;)


Referensi
Koenders, P. G., & Strien, T. V. (2011). Emotional Eating, Rather Than Lifestyle Behavior, Drives Weight Gain in a Prospective Study in 1562 Employees. Journal of Occupational and Environmental Medicine, 53(11), 1287-1293. doi:10.1097/jom.0b013e31823078a2
Sutin, A. R., Stephan, Y., & Terracciano, A. (2015). Weight Discrimination and Risk of Mortality. Psychological Science, 26(11), 1803-1811. doi:10.1177/0956797615601103

Artikel terkait:
Emotional Eating
Emotional Eating: How to Recognize and Stop Emotional and Stress Eating
How Long Does It Actually Take to Form a New Habit? (Backed by Science)
Try These Powerful Tools To Stop Emotional Eating
Weight loss: Gain control of emotional eating
Why stress caused people to overeat





Me & Emotional Eating Me & Emotional Eating Reviewed by Audi on Mei 25, 2018 Rating: 5

4 komentar:

  1. kalau saya lebih ke obsesi pengen gemuk tapi ga kesampaian, padahal berat sekarang itu 69kg tinggi 172, udah ideal sih kata orang-orang, tapi saya pengen lebih berisi. Makan banyak juga ga bisa gemuk... yahh mungkin masing-masing ada jalannya yak..

    kalau lihat foto tuh dipojokan atas ga keliatan gemuk kok,

    BalasHapus
  2. iya mas itu udah ideal :')
    tapi kalo emang masih pengen berisi ya semoga terwujud deh.

    kalo foto di atas mah tipuan optik :')

    BalasHapus
  3. saya mah memang selalu emotional eating mbak. makanya dompet sering jebol karena jajan mulu..
    alhamdulillah saya suka olahraga, minimal jalan kaki 2 kilo deh sehari. jadi semua kalori terbakar habis deh. hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ooh berarti tipsnya jalan kaki 2 kilo sehari. oke mbaa makasih infonya (y)

      Hapus

Thanks for coming! ^^
Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu untuk menghindari komentar spam.

Diberdayakan oleh Blogger.