Sekarang emang lagi musim-musimnya pusing buatku dan orang-orang sekitarku saat ini. Pusing mikirin hidup. Pusing mikirin seminar proposal. Pusing mikirin semester akhir. Pusing mikirin nanti habis lulus ngapain. Pusing mikirin Produce X 101. Dan pusing-pusing lainnya, sesuai dengan masalahnya sendiri-sendiri. Saking pusingnya, pada suatu malam ada seorang teman yang random datang ke aku trus dia nanya, "Audi, aku boleh curhat nggak?"
Okay, I prepared my ears.
Intinya, dia ngerasa nggak tenang. Dia kayak ngerasa ketakutan buat ngapa-ngapain. Dengan berusaha nggak nge-judge, aku secara halus menggali informasi mengenai kenapa dia punya perasaan seperti itu. Ternyata inti kegelisahannya adalah mikirin proposal, tugas kuliah yang belum selesai, dan target yang mau dia capai. I can relate, karena kadang karena satu masalah kecil, pikiran kita bisa bereaksi berlebihan trus tiba-tiba khawatir aja. Akhirnya aku nyaranin dia minum teh chamomile karena setauku tehnya punya efek menenangkan, serta menjauhkan dia dari minuman mengandung kafein biar nggak deg-degan.
Di sela curhatnya, dia juga cerita gini, "Aku, tuh, sebelumnya curhat sama teman-teman yang lain. Di antaranya ada yang bilang kalo aku ini sedang jauh dari Allah trus nyaranin buat banyak-banyak dzikir dan doa. Tapi, kok, aku makin nggak tenang, ya?"
Atas pertanyaan itulah akhirnya aku terpikir buat nulis ini.
Disclaimer: aku bukan pakar curhat. Aku hanyalah orang yang sering curhat dan sering juga dicurhati. Kelihatannya emang sepele, sih. Namun, ternyata punya teman curhat itu kayak mengurangi setengah beban hidup. Rasanya lebih lega aja. Dan dari teman curhat itu terkadang kita bisa dapat another point of view, yang mana ini bakalan berguna banget buat menghadapi masalah yang mirip di kemudian hari.
Pertama, aku pengen ngomong dalam posisi sebagai orang yang curhat. Sebagai orang yang pernah dijauhi oleh teman-teman seangkatan pada suatu masa, aku ngerasa bahwa kehadiran teman yang satu frekuensi itu sangat berharga. Soalnya teman ini biasanya bakalan jadi our emergency number. Karena kita yakin kalo dia bisa nyediain waktunya buat nerima segara keluh kesah kita.
Nah, bagaimana kalo misal kita nggak punya teman sedekat ini?
Curhat aja sama orang yang reliable. Orangnya nggak dekat-dekat banget sama kita, tapi dia dikenal bijak dan enak diajak curhat. Pokoknya kalo kita curhat, dianya menyimak dengan baik, nggak main hp, nggak menyela, nggak nge-judge, apalagi sampai malah dia yang jadi curhat. Selain itu, usahakan temannya itu bakalan relate sama yang kita alami. Susah aja gitu diterima rasanya kalo kita curhat masalah kuliah ke anak SMP. Atau misal kita curhat masalah isi skripsi jurusan Farmasi ke anak Sastra Sunda.
Curhat dengan random stranger juga bisa. Apalagi sekarang udah ada sosmed. Banyak yang kadang curhat ke selebgram yang lagi buka kolom question di IG story, atau curhat ke base-base autotweet sejenis askmenfess dan sejenisnya trus bisa dapat feedback dari followers-nya. Cuman, mungkin agak perlu berhati-hati juga karena stranger is stranger after all. Takutnya ada yang diam-diam mau ngambil untung, ngebikin nyaman, trus ninggalin, kayak cerita di beberapa thread Twitter, hehe.
Kalo lagi ada duit, nemuin psikolog juga bisa (bahkan katanya bisa ditanggung BPJS. Cuman masih nggak tau caranya, hehe). Aku pernah melakukan ini saat sedih berkepanjangan gara-gara batal umroh (Baca: KKN: Hikmah di Balik Batalnya Umroh). Psikolog pastinya udah punya sertifikasi untuk melakukan praktek and I believe they know how to handle us. Aku kemaren curhat sampai nangis-nangis dan mbaknya selain meng-encourage juga pandai menyampaikan something that slaps us hard tanpa terdengar nge-judge. Mbaknya juga muji aku karena aku aware sama kesehatan mentalku. Keluar dari ruangan, aku perlahan merasa lega dan mulai belajar untuk mengikhlaskan.
Kalo nggak, ya, curhat melalui diary. Kekurangannya, sih, nggak mendapat feedback. Jadi kita cuman mengungkapkan kenapa kita lagi gelisah di selembar kertas, baca sendiri, trus mikir sendiri. Cuman, bagi beberapa orang ini cukup therapeutic, sih. Ini sering aku lakukan kalo misal apa yang bikin aku gelisah itu terlalu complicated buat dicurhatin ke orang lain.
Curhat di blog juga bisa. Noh, ini curhat. :'D
Nah, sekarang kita akan ngomongin posisi orang yang dicurhatin, yang mana ini emang lebih rumit posisinya. Setidaknya kita harus berusaha memposisikan diri kita sebagai orang yang lagi curhat. Oh, sahabat baiknya ternyata malah jadian sama gebetannya. Bayangin aja kalo itu terjadi pada kita. Oh, binatang peliharaannya mati kelindes truk. Bayangin aja rasanya gimana kalo kita kehilangan benda berharga yang kita miliki. It needs energy, of course. Makanya, apabila bakalan dicurhati, alangkah baiknya kalo badan dalam kondisi prima biar kita bisa fokus dengerin.
Karena kitanya juga pernah jadi orang yang curhat, tentunya kita pertama-tama harus bisa memahami apa yang umumnya diinginkan oleh orang yang lagi curhat: comfort. Intinya kelakuan kita baiknya seperti tulisan yang aku tebelin di atas, deh. Mungkin kalo ada yang mau nambahin bisa tulis aja di kolom komentar.
Kemudian, kita juga harus sadar kalo terkadang orang yang curhat nggak perlu saran. Perlunya cuman didengerin aja. Mungkin cukup hanya dengan fokus dengerin sambil ngangguk, atau bilang beberapa kalimat seperti:
"I understand what you feel."
"Aku kalo jadi kamu juga bakalan gitu."
"It's okay, nangis aja."
Kalo orang yang dicurhatin minta saran, baru keluarkan aja sarannya. Aku seringnya bilang gini, "Aku nggak tau kalo ini ampuh di kamu atau nggak, but it works for me. Jadi bla bla bla..."
Bukannya nyari aman, sih. Tapi lebih ke nggak mau ngasih harapan kalo solusiku jadi solusi yang 100% ampuh karena aku yakin kalo tiap orang itu punya cara sendiri buat menyelesaikan masalahnya. Human life is too complicated buat digeneralisasi. Nah, mungkin ini juga termasuk seperti cerita temanku di awal tulisan ini, bagaimana saran temannya justru bikin dia tambah tidak tenang. Mungkin bagi temannya temanku itu, mendekatkan diri pada Sang Pencipta adalah solusi buat dia. Namun, temanku malah menangkap solusi itu sebagai judge.
"Aku dibilangin gitu jadi ngerasa banyak dosa, trus malah tambah kepikiran." Ungkapnya.
Jadi, emang sebegitu pentingnya untuk memposisikan diri kita pada posisi orang yang curhat. Nggak selamanya apa yang baik untuk kita itu baik juga untuk orang lain.
Sekali lagi, hal yang aku ungkapkan di sini itu berdasarkan pengalamanku. Aku juga nggak mengklaim kalo aku pendengar curhat yang baik. Namun, semoga tulisan ini bisa membuka insight teman-teman mengenai permasalahan curhat. Apalagi seperti yang aku bilang di awal kalo curhat itu dapat mengurangi setengah beban hidup. Good for mental health.
Kalo punya pendapat lain, silakan tulis di komentar, ya!
Tentang Curhat dan Dicurhati
Reviewed by Audi
on
Juli 13, 2019
Rating:

Thanks for sharing..
BalasHapusThanks for sharing, semoga sukses..
BalasHapus