Sidang skripsi sudah usai. Bebanku sekarang adalah revisi. Namun, sisi overthinking-ku sudah membayangkan hal yang akan aku hadapi setelah lulus nanti.
Separation.
Jika aku disuruh memilih masa-masa terindah selama beberapa tahun hidup, aku akan menjawab masa-masa kuliah ini. Bagaimana tidak, selama kuliah ini aku tidak perlu memikirkan biaya kuliahnya, dapat kos-kosan yang enak, murah, beserta ibu kos yang baik, keuanganku sudah tidak bergantung pada orang tua lagi, tinggal di Jakarta yang serba ada, dan yang terpenting: my social life is getting better.
Sebagai introvert, aku ngga terlalu pandai untuk membuka diri dengan lingkungan baru. Sering sekali apa yang ingin aku obrolkan tidak satu frekuensi dengan orang-orang sekitarku. Ketika aku ingin membaur, banyak hal yang memblokir aku buat bisa menyatu dengan mereka. Entah interest, persepsi, atau bahkan social status. Yang mana ini kemudian bikin aku lebih sering diam dan tidak dinotis oleh orang-orang, bahkan hampir invisible. Kayak ngga punya presence gitu.
Kemudian masuklah aku ke kampus kedinasan. It might sound ridiculous, tapi ospeknya dan bagaimana senior memperlakukan kami waktu masih awal masuk itu sedikit banyak membantuku untuk meng-improve kehidupan sosialku. Kayak misalkan gimana kami harus kenal teman sendiri atau gimana kami harus peduli dengan teman kami. Audi yang biasanya kalo ada apa-apa rentan di-exclude jadi sedikit-dikit dikasih perhatian. Yang dulu kalo ada teman ultah disuruh ikut ngasih surprise tapi pas sendirinya ultah ngga ada yang ingat, sekarang kalo aku ultah ada orang-orang yang ingat tanpa diingetin sama Facebook. Aku perlahan mulai membuka diri dengan pergaulan, meski masih ada yang bilang aku tertutup. Dan yang menurutku paling improve banget di aku yang introvert+pemalu ini: aku udah bisa memulai basa-basi dan aku juga udah mulai berani complain ketika belanja atau di tempat yang menyediakan jasa service.
Berkat berada di kampus ini juga I met my two best friends, Anistia dan Hanifa. Strangely, aku inget sama wajah mereka pas baru awal-awal masuk kampus. Mereka berdua sama-sama tes wawancara waktu di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya. Aku ingat Anistia itu dulu pake seragam kayak polisi gitu (yang aku akhirnya tau kalo itu seragamnya Sampoerna Academy wkwk) dan rambutnya pendek, kalo Hanifa itu aku ingatnya dia ngegandeng adek cowoknya (yang akhirnya aku tau namanya Ipan). Ternyata masuk ke kampus ini ke kelas yang sama, serta masuk juga ke organisasi kampus yang sama. Mungkin itulah yang membawa kami ke jalan yang lebih jauh.
Pernah ada perselisihan. Ngga usah dijelasin lebih detail, tapi aku yakin itulah yang membuat kami lebih dewasa. I'm so thankful to have them being the part of my life. Ketika di sini aku berbusa-busa ngejelasin gimana complicated-nya aku ketika mengalami mood swing, mereka berdua yang paling ngerti sama aku. Ngertinya itu sampai ke level yang kalo aku nangis gara-gara kangen sama Seventeen ya mereka tetap bersimpati, biarpun mereka berdua bukan penyuka Kpop. Mereka juga dibandingkan sama aku memang lebih banyak speak up dan blak-blakan. Kalo ada junior yang kurang ajar sama aku, mereka berdua yang marahin, hehe. Biarpun kami punya interest yang berbeda, apa yang kami omongin tetep nyambung. Like, meeting friends like them is like one in a million chance, and I got it. I honestly don't know what I have done to have friends like them.
Kemudian aku disadarkan kalau zona nyaman ini sebentar lagi selesai. Kami akan lulus, kemudian berpisah ke penempatan masing-masing. Ngga lagi (mungkin) aku berada di Jakarta, ngga lagi aku ngekost di tempat yang super nyaman kayak sekarang, dan ngga lagi aku berada di tempat yang sama dengan teman-temanku berada. Kalau boleh request, rasanya aku pengen banget hidup bertetangga bersama teman-temanku yang sekarang, dengan rumah tangganya masing-masing (if I have any hehe), dan bergaul layaknya hari ini. Tapi dunia tidak bisa sesederhana itu. Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah perubahan, dan hidupku setelah ini pasti akan berubah.
Seperti judulnya, it's gonna be a lonely fight.
Aku sudah membayangkan diriku bekerja di kantor, kembali berjumpa dengan orang-orang baru, dan sepertinya perjumpaan kembali dengan teman-temanku yang sekarang akan menjadi suatu kemewahan di mana depan nanti. Aku akan menghadapi hidup ini sendiri dan teman-temanku juga akan berada di jalannya masing-masing. Selama ini aku merasa mandiri karena telah merantau sejak SMP, tetapi nyatanya ada hal-hal yang aku perlukan dari orang-orang di sekitarku, terutama emotional support. Aku sudah membayangkan gimana nanti aku berada lagi di antara orang-orang asing. Ngga bisa lagi aku menuntut orang-orang untuk memahami mood swing-ku. Bagaimanapun caranya aku memang harus lebih tangguh untuk menghadapi kehidupan nanti, sendiri.
And somebody might ask me: how about marriage? Kenapa sih di sini aku menarasikan diriku sendiri terus? Sementara setelah lulus ini pilihan 'menikah' atau memiliki partner hidup yang bakalan menghapus kata 'lonely' itu ada.
Di sinilah sisi overthinking-ku kembali bekerja. Pertama, masalah perspektif. Orang-orang mendengar kata 'nikah' itu berasosiasi dengan rasa bahagia, hidup romantis dengan pasangan, atau perasaan positif lainnya. Aku? Aku malah sudah membayangkan: how if he cheated on me? How if he died first? How if he's not someone I know before marriage? Dll. Kedua, my past relationship. Aku pernah berada pada fase brokenhearted yang pol-polan. Aku ngga mau merasakan itu lagi di hidupku. Sampai-sampai ketika aku ngerasa suka dengan seseorang, aku mengkritisi perasaanku sendiri dan menolak untuk menerima kalo sebenarnya aku suka sama dia. If I really have to marry someone, I need someone who can change my perspective toward this. But my pessimistic side said that I have to think about the worst scenario: never.
Jadi, setelah ini memang aku harus bersiap untuk menghadapi perubahan. Sidang skripsi telah usai, revisi di depan mata, wisuda sudah menanti. Orang banyak beranggapan bahwa fase tersebut adalah fase istimewa yang layak dirayakan besar-besaran dan berbahagia, but I feel so bittersweet. Mungkin aku akan merayakannya ketika aku memiliki umur panjang di masa tua dan memiliki harta yang cukup untuk pindah ke Australia dan mengadopsi Quokka.
It's Gonna be a Lonely Fight
Reviewed by Audi
on
Januari 28, 2020
Rating:
how if he cheated on me? How if he died first? How if he's not someone I know before marriage? >> THIS IS EXACTLY WHAT I THINK, I don't know how to get rid of that thoughts lol T.T
BalasHapusMbaaaa maaf salfok tapi aku terharu banget ternyata mba masih main2 ke blog aku padahal tulisan ini ngga ada aku share ke mana2 T.T
HapusBener mba, kayak susah banget gitu buat ngga suudzon dan enjoy the moment. Tapi semoga kita bisa berdamai dengan diri ya mbaa~